Awal: ketika skincare jadi sumber kebahagiaan — dan kecemasan
Pada Juni 2020, di kamar kos sempit saya di Jakarta Selatan, saya membuka tas kosmetik dan merasa malu. Ada 18 produk skincare menumpuk; serum, toner, masker lembar, dan box suplemen kulit. Total pengeluaran terakhir? Sekitar Rp 600.000 per bulan hanya untuk coba-coba. Rasanya enak di kulit. Tapi tagihan kartu kredit terus naik. Saya sering berpikir, “Apakah ini benar-benar saya butuhkan?” Di situ saya mulai stres — bukan soal jerawat, tapi soal uang.
Saya ingat momen itu jelas: jam 10 malam, lampu belajar menyala, saya membuka aplikasi bank dan jantung berdegup. Ada perdebatan internal yang sering saya ulangi: kepuasan sesaat versus keamanan finansial. Itu titik balik yang membuat saya menyusun strategi menata finansial tanpa harus mengorbankan perawatan diri.
Konflik: melawan impuls, mengatur prioritas skincare
Masalahnya bukan produk. Masalahnya adalah pola beli impulsif. Saya sering tergoda promosi akhir pekan, influencer baru, atau ESSENTIALS yang katanya “harus punya”. Dalam praktik, banyak produk itu cuma nice-to-have. Solusi pertama saya sederhana: catat semua. Saya mulai jurnal kecil—tanggal, produk, harga, dan alasan beli.
Catatan itu membuka mata. Saya menemukan pola: 70% produk jarang dipakai. Produk mahal belum tentu efektif untuk saya. Saya juga menemukan hal praktis: sampel sering lebih dari cukup untuk menentukan kecocokan. Bahkan ada satu malam saya ketawa sendiri membaca review sambil menulis, “ngapain beli dua kalau satu bisa awet 8 bulan?”
Proses: strategi praktis yang saya terapkan (dan berhasil)
Apa yang saya lakukan selanjutnya adalah gabungan finansial dan skincare science. Saya membagi langkahnya menjadi beberapa poin yang jelas dan bisa dilakukan siapa saja:
– Buat anggaran skincare bulanan. Saya menetapkan Rp 200.000 per bulan sebagai batas. Cukup untuk serum andalan dan masker sesekali. Angka ini muncul setelah menghitung kebutuhan nyata selama 3 bulan.
– Prioritaskan produk inti. Pagi: pembersih, sunscreen; malam: pembersih, serum/retinol jika perlu, moisturizer. Semua bahan tambahan hanya jika ada anggaran sisa.
– Terapkan cost-per-use. Produk X Rp 300.000 dengan 60 penggunaan lebih murah per kali pakai dibanding sheet mask Rp 30.000 satu kali pakai. Ini membantu saya memilih pembelian yang lebih bijak.
– Belanja cerdas. Saya mulai membeli saat ada diskon besar atau mencoba travel size dulu. Juga, saya belajar membaca ingredient list sehingga tidak mudah terjebak klaim marketing. Kadang saya cek review di blog dan forum, termasuk sumber yang saya percaya seperti lippychic, untuk tahu pengalaman orang lain sebelum membeli.
– Simpan reward dan cashback untuk produk premium. Jika dapat cashback kartu, saya alokasikan untuk produk khusus yang sudah lama saya inginkan, bukan untuk belanja impulsif.
Selama proses itu, saya menulis refleksi mingguan. Menuliskan alasan membeli atau menahan diri ternyata efektif mengubah kebiasaan. Ketika godaan muncul, saya membaca kembali catatan—dan seringkali mengurungkan niat.
Hasil: ketenangan finansial dan piel care yang lebih efektif
Tiga bulan setelah saya menerapkan sistem ini, pengeluaran skincare turun dari Rp 600.000 ke Rp 180.000 per bulan. Bukan hanya angka yang berubah. Saya merasa lebih tenang ketika membuka dompet. Satu hal yang mengejutkan: kulit saya lebih stabil. Kenapa? Karena saya berhenti mencampur-campur produk tanpa strategi. Saya fokus pada konsistensi, bukan akumulasi.
Pelajaran terbesar: menata keuangan pribadi bukan berarti menghilangkan perawatan diri. Justru sebaliknya — ini tentang memilih yang benar-benar bekerja untuk Anda. Dari pengalaman saya, disiplin kecil—mencatat, membatasi, menghitung cost-per-use—membuat kebiasaan yang berkelanjutan.
Kalau Anda sedang merasa kewalahan karena pengeluaran skincare, mulailah dari satu hal: buat batas bulanan. Lalu catat. Beri jeda 48 jam sebelum membeli barang non-esensial. Tanyakan pada diri, “Apakah ini akan dipakai rutin? Apa manfaatnya jangka panjang?” Jawaban jujur itu akan memberi Anda ketenangan. Saya sudah membuktikannya sendiri.
Jangan biarkan skincare jadi sumber stres finansial. Jadikan skincare bagian dari perawatan diri yang cerdas—untuk kulit dan dompet yang sehat.